Senin, 13 Februari 2012

Resolusi Belaka atau Solusi?

Kita memang sudah tidak lagi berada di awal tahun baru. Tahun baru yang beberapa hari kemarin identik dengan resolusi. Bicara soal resolusi memang menjadi hal klasik yang menarik didiskusikan. Entah karena resolusi merupakan fenomena dimana banyak orang yang dengan penuh semangat dan antusias memikirkan dan membuatnya atau mungkin karena fenomena tersebut menjadi rutinitas tahunan belaka yang justru dilupakan pada bulan kedua. 

Memahami resolusi sebagai bagian dari rencana hidup merupakan ide yang mengantarkan pada suatu perjalanan panjang perbaikan kehidupan. Dasar itulah yang sebaiknya menjadi pegangan dalam proses pembuatan targetan tahunan kita.

Idealnya resolusi bisa 'akrab' dengan aktivitas keseharian kita. Langkah demi langkah menjadi pengantar dari tujuan yang ingin kita capai. Masalah klasik muncul ketika tidak adanya 'keakraban' antara resolusi yang kita buat dengan keseharian yang kita jalani. Hal itu lah yang menjadi pemicu resolusi sebagai formalitas belaka.

Lantas kita benahi dari mana? 

Pertama, penting bagi kita untuk memahami bahwa tidak ada yang salah dari resolusi yang sudah dibuat. Resolusi tersebut berakar pada kebutuhan atau keinginan kita untuk mencapai diri yang lebih baik dari kondisi sebelumnya. Itu adalah hal baik, namun yang perlu dibenahi adalah kesungguhan kita untuk berada dalam 'right track' atau jalur yang benar untuk mencapai resolusi tersebut. Ide ini sangat sederhana, namun menjadi rumit dalam praktiknya.

Pemikiran resolusi sebagai solusi menjadi alternatif  yang tepat untuk  mengantarkan keseharian kita supaya lebih 'akrab' pada perbaikan-perbaikan yang kita harapkan. Kita sepakat dengan ide kontrukstif ini bukan? Latar belakang itulah yang seharusnya menjadi penguat bahwa resolusi yang kita buat adalah solusi-solusi perbaikan tentang diri kita. secara sederhana penjelasannya sebagai berikut:  

Kebaikan dapat kita capai dengan ide-ide perbaikan. Ide-ide tersebut lahir dari evaluasi yang kita lakukan tentang diri kita. Kemudian kita menuliskan harapan-harapan dari pencapaian perbaikan tersebut dan itu kita kenal dengan resolusi. Tidak sampai disitu, kita ingat kembali bahwa semangat kita membuat resolusi adalah memperbaiki dan mengharapkan kita menjadi lebih baik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa resolusi adalah solusi tentang diri kita menuju perbaikan.

Reperspektif dalam tulisan ini ingin menunjukkan bahwa resolusi menjadi solusi perbaikan diri kita, bukan hanya euforia menjelang akhir tahun. Resolusi merupakan solusi menuju diri kita untuk lebih baik. Jika kita memang ingin jauh lebih baik, maka resolusi yang kita buat adalah solusi untuk mengantarkan diri kita pada perbaikan.

Rabu, 02 November 2011

Malu Jadi Pemuda

Banyak orang bilang kalau pemuda adalah harapan bangsa atau tidak sedikit yang beranggapan bahwa negara ini tergantung peran pemudanya. Kalimat manis tadi bisa menjadi utopis, bahkan kita perlu malu menjadi pemuda.

Mengapa?

Karena tidak semua pemuda benar-benar memiliki jiwa kepemudaan. Fenomena kerdil dan minimalisasi potensi kini merebak mengharu tersemai dalam jiwa kepemudaan. Malu jadi pemuda, malu lah.

Kita perlu malu sebagai pemuda, ketika kita hanya menjadi kaki tangan kaum tua bermental penjajah. Kita perlu malu menjadi pemuda, bila kita hanya dibesarkan dengan status "mewah" pemuda itu sendiri. Kita juga perlu malu sebagai pemuda, jika kita hanya mengenakan baju idealisme pada tataran wacana.



Mengapa?

Karena kita pemuda, generasi yang memiliki keistimewaan dengan perubahan yang diciptakan, generasi yang ditunjuk sebagai agen perubah, juga sebagai generasi yang terselimuti keyakinan pada kebenaran.

Malu jadi pemuda bila kita hanya mendefinisikan pemuda sebagai orang yang nanti hidup tua, tanpa mengkonstruksi kesadaran idealisme yang tertancap dalam pikiran, hati, dan tindakan. sadar menjadi pemuda dengan tuntutan idealisme.

reperspektif tulisan ini, pemuda dengan kebesarannya tidak berlaku bahkan memalukan, jika tanpa idealisme yang terjaga, tertancap kuat dalam diri dan terwujud dalam perilaku.

Minggu, 21 Agustus 2011

Mudik dan Kematian

   Banyak ide-ide inspiratif untuk menulis yang melesat dan hilang tidak saya hiraukan, padahal itu adalah tindakan mubazir. Sebagai seorang penulis amatir melewatkan ide-ide liar untuk memulai menulis adalah tindakan bodoh, walaupun saya tahu itu. Tapi, sudahlah itu semua sudah terjadi dan sesuai dengan tulisan pertama tentang pecah telur yaitu tentang apa yang bisa saya mulai, maka saya memutuskan untuk bilang stop! khusus pada ide ini, yaitu inspirasi tulisan saya yang kedua, mudik dan kematian.


   Kalau saya tidak salah, tradisi mudik mendekati hari raya idul fitri atau lebaran hanya terjadi di Indonesia saja. Setahun sekali orang berbondong-bondong rela mengantri tiket dan berdesakan di statiun atau terminal untuk menjejakkan kaki melepas rindu ke kampung halaman. Momen ini memang sangat berkesan, tapi saya tidak akan mengupas soal mudik sebagai tradisi, saya lebih tertarik untuk mendalami filosofinya yang kemudian saya hubungkan dengan konsepsi hidup yang berakhir pada kematian.

   Suatu malam, tidak sengaja saya melihat tayangan in memorial ceramah KH.Zainuddin MZ (alm). Ketidaksengajaan itu ternyata berbuah manis karena dari konten ceramah itulah saya terinspirasi untuk memahami pulang kampung dan kematian. Saya tidak ingin mendramatisir soal kematian karena sejauh dari apa yang sudah kita ketahui bahwa kematian akan datang kapan dan dimana saja, semua itu rahasia Allah ta'ala. Kematian tidak memandang kita sebagai koruptor atau bukan, yang jelas bila sudah waktunya, maka itu takdir-Nya.

   Banyak orang yang sebetulnya memiliki potensi untuk memahami konsep mudik menjadi bagian dari hidupnya. Hidup sama dengan merantau yang pasti membutuhkan pulang. Kata KH. Zainuddin MZ, pulang itu adalah sesuatu hal yang kita senangi, misalnya saja pulang kampung atau lebih trend dengan istilah mudik. Sama hal nya dengan mudik untuk pulang kampung, kita hidup juga membutuhkan pulang, sebut saja dengan kematian. Akan tetapi, soal apakah pulang itu menjadi moment yang menyenangkan atau tidak itu balik kepada kita, sudah siap pulang dan hal apa yang sudah kita siapkan?

Jika kita balik ke mudik sebagai tradisi, maka kita akan melihat orang-orang perantau dari jauh-jauh hari pasti menyiapkan barang bawaan mereka untuk ke kampung. Jenis dan bentuknya bervariasi, yang intinya cuma satu, bekal mudik untuk pulang. Sama hal nya dengan mudik, hidup juga perlu bekal untuk kematian kita. 

   Saya mengutip lagi dari ceramah KH. Zainuddin MZ, dalam hidup kita terkadang (baca: sering) melupakan status bahwa kita adalah perantau yang juga nanti akan pulang. Hidup ini sama dengan mudik dan sejujurnya fenomena mudik dalam arti sebenarnya mengajari kita untuk lebih paham bahwa kita adalah perantau mudik yang nanti pasti pulang.

   Jika kita bisa semangat dan bersungguh-sungguh berikhtiar menjadi perantau mudik tradisi, sesungguhnya kita punya potensi untuk memaksimalkan mudik yang sebenarnya.

reperspektif tulisan ini adalah mudik bukan sekedar tradisi, namun mudik sebetulnya memiliki semangat untuk mengingatkan kembali tentang status kita sebagai perantau yang pasti mati yang juga perlu bekal.






Kamis, 28 Juli 2011

Berani Pecah Telur

 Beberapa hari ini saya teringat pada diri saya yang dulu. Bisa jadi diri saya yang dulu mirip dengan banyak orang pada umumnya. Saya adalah orang yang sangat perhitungan dan hampir selalu mengupayakan agar semuanya harus siap. Bahkan saya terkadang tidak yakin karena tuntutan diri saya yang mengharuskan untuk tampil sempurna.

Itu adalah contoh yang tidak baik karena taraf persiapan yang berlebihan ini sudah kelewat batas. Sikap itu yang kemudian membuat saya berpikir, apakah ini akan terus dilanjutkan?

Walaupun saya tidak mengetahui secara persis penyebabnya, tapi mencoba untuk berani pecah telur adalah hal yang baru-baru ini saya sukai. Ada dua alasan yang membuat saya lebih progresif dibanding diri saya yang dulu. Pertama saya teringat kata-kata berikut,

"Seorang pemberani adalah orang penakut yang tetap mengambil resiko", 

kedua saya menyukai kata-kata ini,

"Kita ini anak muda, maka semakin kita mengambil resiko akan semakin banyak pengalaman yang bisa kita dapat". 

Inspirasi itu saya dapat ketika saya mengunduh salah satu video Mario Teguh dan setelah menonton 'Sang Pemimpi'.

Sekarang saya semakin tahu. Dari beberapa pengalaman saya terakhir, terasa sekali kemajuan-kemajuan yang tidak saya sangka. Saya cukup senang untuk menerapkan prinsip berani pecah telur dalam hidup saya sekarang.

Memang saya orang yang penuh perhitungan dan saya tidak kecewa soal itu, tapi saya merasa lebih tenang dengan prinsip baru yang saya punya, berani pecah telur untuk menerobos kecemasan dan kekhawatiran diri saya.

represpektif tulisan ini adalah tidak selamanya persiapan besar akan membuat kita lebih tenang dan menjamin keberhasilan, namun cobalah untuk berani memecahkan telur kegelisahan, ketakutan dan kekhawatiran dengan mencoba dan melakukan apa yang bisa kita lakukan sekarang. Sederhana memang semoga kita bisa berani untuk pecah telur, terutama untuk hal-hal besar yang sudah menanti kita